Kamis, 03 Maret 2011

tulisan softskills pendidikan kewarganegaraan bagian 2 (keseharian negara .konflik)

Tokoh-tokoh Agama juga harus Bertanggung Jawab
Publik | February 19, 2011 at 01:31
19 Februari 2011 01:05 WIB

20110219 123358 temanggung2 Tokoh tokoh Agama juga harus Bertanggung Jawab

JAKARTA: Terjadinya kekerasan berbau SARA di Tanah Air baik itu Cikeusik, Temanggung, dan Pasuruan bukan semata-mata tanggung jawab Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak bergulirnya era reformasi, kekuasaan tidak mutlak di tangan Presiden.

Tokoh agama juga termasuk pemegang kekuasaan sehingga ikut bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah kekerasan sektarian di Indonesia.

Sekretaris Kabinet Dipo Alam justru melihat sebaliknya. Tokoh-tokoh agama justru melemparkan semua kesalahan kepada Kepala Negara. Menurutnya, para pemimpin agama malah berbuat seenaknya dan tidak memberikan solusi untuk menyelesaikan terjadinya kekerasan.

“Jangan hanya melihat masalah itu yang bertanggung jawab Presiden. Di mana peran tokoh agama? Bukan sekarang ikut-ikutan, seenaknya. Harusnya mereka justru menyejukkan, menyelesaikan, dan memberikan solusi,” kata Dipo di kantornya di Jakarta, Jumat (18/2).

Ia menambahkan pemerintah sangat peduli dan prihatin dengan kekerasan yang marak terjadi di Indonesia. Menurutnya, SBY ingin menuntaskan dan memberikan solusi.

Namun, bercermin dari berbagai konflik di Ambon, Poso, dan juga Aceh, semua penyelesaian konflik membutuhkan waktu. “Membutuhkan waktu untuk meredakan konflik Ambon, Poso, dan juga konflik horizontal di Aceh. Saya melihat sendiri ketika masih Deputi Menteri Bidang Perekonomian dan SBY sebagai Menko Polkam,” imbuhnya.

Ia juga mengatakan pembubaran organisasi masyarakat yang radikal tidak menjamin akan menyelesaikan masalah. Begitu pula dengan rencana membekukan Ahmadiyah. Karena itulah, pemerintah masih terus mencari jalan yang terbaik.

“Ketika di zaman orde baru, kejaksaan pernah menggunakan UU No 8/1985 untuk melarang suatu sekte agama. Ketika zaman reformasi, kejaksaan dituntut balik di pengadilan dan ternyata kalah. Bukannya kita tidak mau pergi ke sana (pembubaran), tapi harus dikaji lebih dahulu, ungkapnya.

Dipo mengungkapkan kepala daerah baik tingkat I dan II, kapolda, kapolres, dan kapolsek juga bertanggung jawab dalam mencegah terjadinya kekerasaan khususnya dalam masalah Ahmadiyah. Seharusnya, para pemangku kekuasaan di daerah tahu betul berapa jumlah jemaat Ahmadiyah di wilayahnya serta berapa jumlah kelompok radikal yang anti-Ahmadiyah.

“Kalau terjadi syiar, kepala daerahnya mulai dari bupati termasuk camat harusnya tahu hal itu. Harusnya ini bisa ditangkal. Bila semua aparat di daerah mengetahui berapa populasi Ahmadiyah, berapa yang radikal. Di dalam masalah penegakan hukum, intelijen, penangkalan, dan pencegahan itu sangat penting,” ungkapnya. (Nav/OL-11)

Source: media indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar